Islam adalah agama Tauhid. Yakni kepercayaan tentang Keesaan Allah. Berkeliling di sekitar Tauhid aneka kesatuan yang lahir dari keyakinan itu, yang bila ia dilepaskan darinya, maka terlepas pula ia dari ajaran Tauhid. Kesatuan dunia dan akhirat adalalah salah satu aspek dari Tauhid dalam arti apa yang dilakukan di dunia itulah yang ditemukan di akhirat.
Karena itu tidaklah tepat menyatakan bahwa ada amal duniawi dan ada pula amal ukhrawi, karena keduanya merupakan satu mata uang dengan dua wajah. Ibadah dan kerjapun sesungguhnya harus merupakan satu kesatuan. Karena itu pula, pekerjaan apapun yang dilakukan oleh penganut Tauhid, dapat menjadi ibadah yang dia peroleh ganjarannya bukan saja di dunia tetapi juga bahkan lebih-lebih di akhirat.
Kerja didefinisikan sebagai penggunaan daya. Manusia secara garis besar dianugerahi Allah empat daya pokok, yaitu Daya Fisik, yang menghasilkan kegiatan fisik dan keterampilan, Daya pikir yang mendorong pemiliknya berpikir dan menghasilkan ilmu pengetahuan, Daya Kalbu yang menjadikan manusia mampu berkhayal, mengekspresikan keindahan serta beriman dan merasakan serta berhubungan dengan Allah Sang Pencipta, dan Daya Hidup, yang menghasilkan semangat juang, kemampuan menghadapi tantangan serta menanggulangi kesulitan. Penggunaan salah satu dari daya-daya tersebut – betapapun sederhananya – melahirkan kerja, atau amal. Anda tidak dapat hidup tanpa menggunakan – paling sedikit salah satu dari daya itu. Untuk melangkah, anda memerlukan daya fisik, paling tidak guna menghadapi daya tarik bumi. Karena itu, kerja adalah keniscayaan. Selanjutnya karena tujuan penciptaan manusia adalah menjadikan seluruh aktivitasnya bermula dan berakhir dengan ibadah kepada Allah (Q.S. 51: 56), maka seluruh penggunaan dayanya harus merupakan ibadah kepada-Nya.
Ibadah bukan sekadar ketaatan dan ketundukan, tetapi ia adalah satu bentuk ketundukan akibat adanya rasa keagungan dalam jiwa seseorang terhadap siapa yang kepadanya ia mengabdi. Seorang pengabdi tidak mencapai hakikat pengabdian kecuali jika ia tidak menganggap apa yang berada dalam genggaman tangannya sebagai miliknya tetapi milik siapa yang kepadanya dia mengabdi. Segala usahanyapun hanya berkisar pada mengindahkan apa yang diperintahkan kepadanya dan menjauhi apa yang dilarang, serta tidak memastikan sesuatu untuk dia laksanakan kecuali mengaitkannya dengan izin dan restu siapa yang kepadanya dia mengabdi.
Ibadah adalah kerja dan kerja adalah ibadah tetapi perlu diingat bahwa kerja atau amal yang dituntut-Nya bukan asal kerja, tetapi kerja yang shaleh atau amal shaleh. Shaleh adalah yang sesuatu yang bermanfaat lagi memenuhi syarat-syarat dan nilai-nilainya.
Menggunakan salah satu dari daya-daya disebut di atas selama shaleh dan dengan motivasi yang tulus mengikuti tuntunan Allah, maka apa yang dikerjakan itu telah menjadi ibadah. Karena itu Anda dapat beribadah kapan dan di manapun. Nabi Muhammad saw. menegaskan salah satu keistimewaan ajaran Tauhid adalah “Allah menjadikan persada bumi ini sebagai masjid tempat sujud (patuh kepada-Nya) dan sarana penyuciaan”. Anda tidak perlu berkata seperti yang konon diucapkan oleh Filsuf Jerman Immanuel Kant, “Saya terpaksa menghenikan penelitian ilmiah agar menyediakan tempat dalam hatiku untuk percaya atau beribadah”. Yang diajarkan oleh Al-Qur’an untuk diucapkan sekaligus dipahami dan diamalkan adalah : “Sesungguhnya shalatku, ibadah (murni)ku, hidupku dan matiku hanyalah demi karena Allah, Tuhan semesta alam“ (Q.S. 6: 162).
Mengapa hanya demi karena Allah? Sebab kepada-Nya saja berakhir segala sesuatu (Q.S. 53: 62). Karena itu seorang muslim memulai amalnya dengan Basmalah yakni menyadari bahwa itu tidak dapat wujd tanpa bantuan Allah dan mengakhirnya dengan Hamdalah yakni dengan bersyukur kepada-Nya. Dengan demikian Allah adalah pangkalan tempat kita bertolak dan pelabuhan tempatkita bersauh.
Prinsip ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Ilmuwan Amerika Steven Covey dalam bukunya The Seven Habits of Highly Effective People, yang mengemukakan bahwa salah satu kunci keberhasilan yaitu memulai dengan akhir yang terdapat dalam pikiran.
Di sisi lain, kitab suci Al-Qur’an tidak memberi peluang bagi seorang muslim untuk berleha-leha dalam hidup ini. Maka apabila engkau telah berada di dalam keluangan (setelah tadinya engkau sibuk), maka (bersungguh-sungguhlah bekerja) sampai engkau letih, atau tegakkanlah (persoalan baru) sehingga menjadi nyata”. Demikian pesan Q.S. 94: 7. Karena itu waktu harus dihargai dengan mengisi dan memanfatkannya. Ali Ibnu Abi Thalib r.a. mengingatkan bahwa “Rezeki yang tidak diperoleh hari ini, masih dapat diharapkan perolehannya lebih banyak esok hari, tetapi waktu yang berlalu hari ini, tidak mungkin kembali esok”. Demikian.
Sumber: http://quraishshihab.com/kerja-adalah-ibadah/#more-265