يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَن تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah (kebenarannya) dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”. (QS. Al-Hujurat: 6)
Ayat ini -seperti yang dikemukakan oleh Ibnu Katsir- termasuk ayat yang agung karena mengandung sebuah pelajaran yang penting agar umat tidak mudah terpancing, atau mudah menerima begitu saja berita yang tidak jelas sumbernya, atau berita yang jelas sumbernya tetapi sumber itu dikenal sebagai media penyebar berita palsu, isu murahan atau berita yang menebar fitnah.
Apalagi perintah Allah ini berada di dalam surah Al-Hujurat, surah yang sarat dengan pesan etika, moralitas dan prinsip-prinsip mu’amalah sehingga Sayyid Quthb mengkategorikannya sebagai surah yang sangat agung lagi padat (surat jalilah dhakhmah), karena memang komitmen seorang muslim dengan adab dan etika agama dalam kehidupannya menunjukkan kualitas akalnya (adabul abdi unwanu aqlihi).
Peringatan dan pesan Allah dalam ayat ini tentu bukan tanpa sebab atau peristiwa yang melatarbelakangi. Terdapat beberapa riwayat tentang sebab turun ayat ini yang pada kesimpulannya turun karena peristiwa berita bohong yang harus diteliti kebenarannya dari seorang Al-Walid bin Uqbah bin Abi Mu’ith tatkala ia diutus oleh Rasulullah untuk mengambil dana zakat dari Suku Bani Al-Musththaliq yang dipimpin waktu itu oleh Al-Harits bin Dhirar seperti dalam riwayat Imam Ahmad. Al-Walid malah menyampaikan laporan kepada Rasulullah bahwa mereka enggan membayar zakat, bahkan berniat membunuhnya, padahal ia tidak pernah sampai ke perkampungan Bani Musththaliq.
Kontan Rasulullah murka dengan berita tersebut dan mengutus Khalid untuk mengklarifikasi kebenarannya, sehingga turunlah ayat ini mengingatkan bahaya berita palsu yang coba disebarkan oleh orang fasik yang hampir berakibat terjadinya permusuhan antar sesama umat Islam saat itu. Yang menjadi catatan disini bahwa peristiwa ini justru terjadi di zaman Rasulullah yang masih sangat kental dan dominan dengan nilai-nilai kebaikan dan kejujuran. Lantas bagaimana dengan zaman sekarang yang semakin sukar mencari sosok yang jujur dan senantiasa beri’tikad baik dalam setiap berita dan informasi yang disampaikan?.
Secara bahasa, kata fasiq dan naba’ yang menjadi kata kunci dalam ayat di atas disebut dalam bentuk nakirah (indifinitive) sehingga menunjukkan seseorang yang dikenal dengan kefasikannya serta menunjukkan segala bentuk berita dan informasi secara umum; berita yang besar atau kecil, yang terkait dengan masalah pribadi atau sosial, apalagi berita yang besar yang melibatkan segolongan kaum atau komunitas tertentu yang berdampak sosial yang buruk.
Sayyid Thanthawi mengemukakan analisa redaksional bahwa kata “in” yang berarti “jika” dalam ayat “jika datang kepadamu orang fasik membawa berita” menunjukkan suatu keraguan sehingga secara prinsip seorang mu’min semestinya bersikap ragu dan berhati-hati terlebih dahulu terhadap segala informasi dari seorang yang fasik untuk kemudian melakukan pengecekan akan kebenaran berita tersebut sehingga tidak menerima berita itu begitu saja atas dasar kebodohan (jahalah) yang akan berujung kepada kerugian dan penyesalan. Maka berdasarkan acuan ini, sebagian ulama hadits melarang dan tidak menerima berita dari seseorang yang majhul (tidak diketahui kepribadiannya) karena kemungkinan fasiknya sangat jelas.
Berdasarkan hukumnya, As-Sa’di membagikan sumber (media) berita kepada tiga klasifikasi:
- Berita dari seorang yang jujur yang secara hukum harus diterima.
- Berita dari seorang pendusta yang harus ditolak.
- Berita dari seorang yang fasik yang membutuhkan klarifikasi, cek dan ricek akan kebenarannya.
Disini, yang harus diwaspadai adalah berita dari seorang yang fasik, seorang yang masih suka melakukan kemaksiatan, tidak komit dengan nilai-nilai Islam dan cenderung mengabaikan aturannya. Lantas bagaimana jika sumber berita itu datang dari media yang cenderung memusuhi Islam dan ingin menyebar benih permusuhan dan perpecahan di tengah umat, tentu lebih prioritas untuk mendapatkan kewaspadaan dan kehati-hatian.
Selain sikap waspada dan tidak mudah percaya begitu saja terhadap sebuah informasi yang datang dari seorang fasik, Allah juga mengingatkan agar tidak menyebarkan berita yang tidak jelas sumbernya tersebut sebelum jelas kedudukannya. Allah swt berfirman:
مَّا يَلْفِظُ مِن قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
“Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir”. (QS. Qaaf: 18).
Sehingga sikap yang terbaik dari seorang mukmin seperti yang pernah dicontohkan oleh para sahabat yang dipelihara oleh Allah saat tersebarnya isu yang mencemarkan nama baik Aisyah ra adalah mereka tetap berbaik sangka terhadap sesama mukmin dan senantiasa berwaspada terhadap orang yang fasik, apalagi terhadap musuh Allah yang jelas memang menginginkan perpecahan dan perselisihan di tubuh umat Islam.
وَلَوْلَا إِذْ سَمِعْتُمُوهُ قُلْتُم مَّا يَكُونُ لَنَا أَن نَّتَكَلَّمَ بِهَٰذَا سُبْحَانَكَ هَٰذَا بُهْتَانٌ عَظِيمٌ
“Dan mengapa kamu tidak berkata, di waktu mendengar berita bohong itu: “Sekali-kali tidaklah pantas bagi kita memperkatakan ini. Maha Suci Engkau (Ya Tuhan kami), ini adalah dusta yang besar.” (QS. An-Nur: 16).
Dalam sebuah riwayat dari Qatadah disebutkan, “At-Tabayyun minaLlah wal ‘ajalatu Minasy Syaithan”, sikap tabayun merupakan perintah Allah, sementara sikap terburu-buru merupakan arahan syaitan.
Semoga kita mampu menangkap pesan Allah yang cukup agung ini agar terhindar dari penyesalan dan kerugian. Allahu a’lam
Sumber: dr.attabiq luthfi/dakwatuna