Bila dulu, anak-anak cukup membeli buku persiapan UMPTN (ujian masuk perguruan tinggi negeri), diikuti dengan buku persiapan Ebtanas (setara Ujian Nasional), sekarang sudah banyak terbit buku-buku untuk persiapan tes masuk SD, seperti “Aku Siap Masuk SD” dan sejenisnya.
Lebih jauh lagi, anak bayi pun sekarang sudah harus giat belajar menghadapi persaingan masuk TK sehingga banyak terbit buku-buku persiapan masuk TK, seperti “Sukses Masuk TK”, “99,99% Diterima Masuk TK Favorit”, dan “Lolos Tes Masuk TK.”
perkembangan ini membuat Menteri PEndidikan dan Kebudayaan, Dr. Muhammad Nuh, membuat pernyataan publik pada acara Rembuk Nasional Pendidikan dan Kebudayaan (RNPK) di Depok, 11 Januari yang lalu. Beliau menegaskan bahwa mengajarkan calistung adalah kewajiban SD, bukan PAUD. Anak yang akan masuk sekolah tidak boleh dituntut sudah menguasai calistung
Pernyataan Mendikbud ini sesuai dengan aturan hukum yang diatur dalam Permendiknas RI No. 58 TAHUN 2009 tentang Standar Pendidikan Anak Usia Dini. Ada 4 tingkat pencapaian terkait dengan kemampuan calistung bagi anak usia 4-6 tahun, yaitu:
Berdasarkan Permendiknas ini, kemampuan tertinggi yang diharapkan dari lulusan TK adalah membaca dan menulis namanya sendiri. Inipun cukup nama pendek, sekedar mengenali namanya dan memberi nama lembar kerjanya.
Untuk mendukung aturan ini, Dirjen Dasmen mengeluarkan Surat Edaran Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar Dan Menengah Nomor 1839/C.C2/TU/2009 Perihal : Penyelenggaraan Pendidikan Taman Kanak-Kanak dan Penerimaan Siswa Baru Sekolah Dasar. Ada 3 hal yang ditekankan dalam surat edaran ini, yaitu:
Menurut aturan pemerintah, Sekolah PAUD yang mengajarkan materi calistung secara langsung dan SD yang mengadakan tes penerimaan murid justru telah melakukan pelanggaran. Hal ini harus disosialisasikan ke seluruh PAUD dan orang tua murid sehingga bersama-sama mematuhi aturan dan tidak memaksa anaknya menguasai calistung pada usia dini.
Mengapa pemerintah melarang pengajaran calistung secara langsung? Apa ruginya anak belajar calistung? Bukankah hal ini membantunya menguasai pelajaran SD? Bukankah makin terpakai otak, makin meningkat kecerdasannya?
Secara ringkas, pertanyaan-pertanyaan di atas telah dijawab oleh Direktur PAUD Kemdikbud, Sudjarwo Singowijoyo. Beliau mengatakan:
Memaksa anak usia di bawah lima tahun (balita) menguasai calistung dapat menyebabkan si anak terkena 'Mental Hectic’, yaitu anak menjadi pemberontak.
Penyakit itu akan merasuki anak di saat kelas 2 atau 3 Sekolah Dasar (SD).
Memaksakan anak menguasai calistung pada usia dini justru akan merusak kecerdasan mentalnya. Ia mungkin tampak jenius secara kognitif, namun fungsi otak lainnya akan terganggu. Otak manusia tidak hanya berfungsi untuk mengolah informasi kognitif, namun juga nalar dan karakter (akhlaq). Apabila kemampuan nalar dan akhlaq rendah, maka kemanusiaan akan jatuh pada titik nadir.
Apakah anak usia dini sama sekali dilarang belajar calistung? Belajar calistung secara tidak langsung diperbolehkan. Contohnya adalah:
- melihat ibunya menghitung gelas untuk menjamu tamu
- melihat kakaknya menikmati membaca buku
- menghitung jumlah anggota dalam sebuah permainan kelompok
- dsb.
Sobat Risalah, jika kita renungkan hadits Nabi SAW, “Perintahkanlah anakmu untuk sholat pada usia 7 tahun.” Sholat adalah urusan yang paling penting. Sholat adalah tiang agama. Untuk urusan terpenting saja, Nabi menyuruh kita menunda hingga anak mencapai usia 7 tahun. Padahal, apa salahnya menyuruh anak sholat sejak usia dini?
Keimanan kita kepada Allah dan Rasul membuat kita yakin bahwa apa-apa yang diperintahkan/dilarang adalah yang terbaik. Bila menyuruh anak sholat sejak usia dini memiliki efek positif, tentu Nabi akan mewasiatkan untuk mengajak anak-anak sholat sejak usia dini. Namun, Nabi justru membiarkan cucu-cucunya bermain di punggung beliau saat beliau mengimami sholat berjamaah di masjid.
perkembangan ini membuat Menteri PEndidikan dan Kebudayaan, Dr. Muhammad Nuh, membuat pernyataan publik pada acara Rembuk Nasional Pendidikan dan Kebudayaan (RNPK) di Depok, 11 Januari yang lalu. Beliau menegaskan bahwa mengajarkan calistung adalah kewajiban SD, bukan PAUD. Anak yang akan masuk sekolah tidak boleh dituntut sudah menguasai calistung
Pernyataan Mendikbud ini sesuai dengan aturan hukum yang diatur dalam Permendiknas RI No. 58 TAHUN 2009 tentang Standar Pendidikan Anak Usia Dini. Ada 4 tingkat pencapaian terkait dengan kemampuan calistung bagi anak usia 4-6 tahun, yaitu:
- Pura-pura membaca cerita bergambar dalam buku dengan kata-kata sendiri.
- Berkomunikasi secara lisan, memiliki perbendaharaan kata, serta mengenal simbol-simbol untuk persiapan membaca, menulis dan berhitung.
- Membaca nama sendiri.
- Menuliskan nama sendiri.
Berdasarkan Permendiknas ini, kemampuan tertinggi yang diharapkan dari lulusan TK adalah membaca dan menulis namanya sendiri. Inipun cukup nama pendek, sekedar mengenali namanya dan memberi nama lembar kerjanya.
Untuk mendukung aturan ini, Dirjen Dasmen mengeluarkan Surat Edaran Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar Dan Menengah Nomor 1839/C.C2/TU/2009 Perihal : Penyelenggaraan Pendidikan Taman Kanak-Kanak dan Penerimaan Siswa Baru Sekolah Dasar. Ada 3 hal yang ditekankan dalam surat edaran ini, yaitu:
- Pendidikan di TK tidak diperkenankan mengajarkan materi calistung secara langsung.
- Pendidikan di TK tidak diperkenankan memberikan pekerjaan rumah (PR) kepada anak didik dalam bentuk apapun.
- Setiap sekolah dasar (SD) wajib menerima peserta didik tanpa melalui tes masuk.
Menurut aturan pemerintah, Sekolah PAUD yang mengajarkan materi calistung secara langsung dan SD yang mengadakan tes penerimaan murid justru telah melakukan pelanggaran. Hal ini harus disosialisasikan ke seluruh PAUD dan orang tua murid sehingga bersama-sama mematuhi aturan dan tidak memaksa anaknya menguasai calistung pada usia dini.
Mengapa pemerintah melarang pengajaran calistung secara langsung? Apa ruginya anak belajar calistung? Bukankah hal ini membantunya menguasai pelajaran SD? Bukankah makin terpakai otak, makin meningkat kecerdasannya?
Secara ringkas, pertanyaan-pertanyaan di atas telah dijawab oleh Direktur PAUD Kemdikbud, Sudjarwo Singowijoyo. Beliau mengatakan:
Memaksa anak usia di bawah lima tahun (balita) menguasai calistung dapat menyebabkan si anak terkena 'Mental Hectic’, yaitu anak menjadi pemberontak.
Penyakit itu akan merasuki anak di saat kelas 2 atau 3 Sekolah Dasar (SD).
Memaksakan anak menguasai calistung pada usia dini justru akan merusak kecerdasan mentalnya. Ia mungkin tampak jenius secara kognitif, namun fungsi otak lainnya akan terganggu. Otak manusia tidak hanya berfungsi untuk mengolah informasi kognitif, namun juga nalar dan karakter (akhlaq). Apabila kemampuan nalar dan akhlaq rendah, maka kemanusiaan akan jatuh pada titik nadir.
Apakah anak usia dini sama sekali dilarang belajar calistung? Belajar calistung secara tidak langsung diperbolehkan. Contohnya adalah:
- melihat ibunya menghitung gelas untuk menjamu tamu
- melihat kakaknya menikmati membaca buku
- menghitung jumlah anggota dalam sebuah permainan kelompok
- dsb.
Sobat Risalah, jika kita renungkan hadits Nabi SAW, “Perintahkanlah anakmu untuk sholat pada usia 7 tahun.” Sholat adalah urusan yang paling penting. Sholat adalah tiang agama. Untuk urusan terpenting saja, Nabi menyuruh kita menunda hingga anak mencapai usia 7 tahun. Padahal, apa salahnya menyuruh anak sholat sejak usia dini?
Keimanan kita kepada Allah dan Rasul membuat kita yakin bahwa apa-apa yang diperintahkan/dilarang adalah yang terbaik. Bila menyuruh anak sholat sejak usia dini memiliki efek positif, tentu Nabi akan mewasiatkan untuk mengajak anak-anak sholat sejak usia dini. Namun, Nabi justru membiarkan cucu-cucunya bermain di punggung beliau saat beliau mengimami sholat berjamaah di masjid.
Demikian pula dalam hal belajar bidang-bidang lainnya. Pelajaran secara formal ataupun langsung, baru boleh dilakukan ketika anak berusia 7 tahun. Sebelum usia itu, biarkan kanak-kanak menikmati canda tawanya, tanpa beban yang akan merusak akhlaknya.
Penulis: Dr. Hj Erma Pawitasari, M.Ed